Hari Raya Nyepi adalah hari pergantian tahun Saka (Isakawarsa). Perayaan hari tahun baru saka yang jatuh pada penanggal apisan sasih
Kedasa (eka sukla paksa Waisak) sehari setelah tilem Kesanga (panca dasi Krsna
Paksa Caitra).
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi
sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka,
yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi,
Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti
biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara
Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Adapun latar
belakang sejarah Hari Raya Nyepi
Sekarang diceritakan tentang keadaan sebelum Masehi, yaitu
para penguasa (Raja) yang silih berganti di India oleh berbagai suku, yaitu:
Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa, dan Saka.
Diantara suku-suku itu yang paling
tinggi tingkat kebudayaanya adalah suku Saka. Ketika suku Yuehchi di bawah Raja
Kaniska berhasil mempersatukan India maka secara resmi kerajaan menggunakan
sistem kalender suku Saka. Keputusan penting ini terjadi pada tahun 78 Masehi.
Sejak itu sistem kalender Saka digunakan
terus menerus hingga saat ini yang disebut Tahun Saka. Itulah sebabnya sistem
kalender Hindu “seolah-olah terlambat” 78 tahun dari kalender Masehi.
Pada tahun 456 M (atau Tahun 378
S), datang ke Indonesia seorang Pendeta penyebar Agama Hindu yang bernama Aji
Saka asal dari Gujarat, India. Beliau mendarat di pantai Rembang (Jawa Tengah)
dan mengembangkan Agama Hindu di Jawa. Sekaligus beliau mengajarkan sistem
kalender Saka pada murid-muridnya.
Ketika Majapahit berkuasa, (abad
ke-13 M) sistem kalender Tahun Saka dicantumkan dalam Kitab Nagara Kartagama.
Sejak itu Tahun Saka resmi digunakan di Indonesia. Masuknya Agama Hindu ke Bali
kemudian disusul oleh penaklukan Bali oleh Majapahit pada abad ke-14 dengan
sendirinya membakukan sistem Tahun Saka di Bali hingga sekarang.
Urut-urutan
acara dalam menyambut Hari Raya Nyepi
1. TAHAP PERTAMA (MELASTI)
Melasti adalah Bahasa Kawi berasal dari kata
“mala” = kotoran dan “asti” = abu/ lebur dengan demikian melasti artinya
melebur kotoran. Kegiatan melasti juga disebut melelasti, melis, mesucian,
mekiyis.
Dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala
disebutkan:
… ANGANYUTAKEN LARANING JAGAT, PAKLESA
LETUHING BHUANA
artinya untuk melenyapkan penderitaan masyarakat
(kotoran Bhuana Alit) dan kekotoran dunia (kotoran Bhuana Agung).
Dalam Lontar Sundarigama disebutkan:
… AMET SARINING AMERTA KAMANDALU RI TELENGING
SAMUDRA
artinya untuk memperoleh air suci kehidupan
(Sarining Bhuana) di tengah-tengah laut.
Jadi melasti bertujuan untuk: melenyapkan
kekotoran dunia dan melenyapkan penderitaan manusia yang menumpuk di tahun yang
lalu (misalnya Isaka 1921), serta memohon tirta amerta kamandalu, yaitu air
suci kehidupan untuk tahun yang akan datang (misalnya Isaka 1922).
Pelaksanaannya dengan mengusung pretima-pretima
(niyasa Ida Bethara) ke laut.
Di tepi laut upacara dilaksanakan dengan
menghaturkan banten suci ke hadapan Sanghyang Baruna, serta mohon tirta
penglukatan/ pebersihan ke hadapan Gangga Dewi untuk pretima, prelingga,
jempana, bangunan suci, alat-alat upacara, serta anggota masyarakat.
Upacara melasti ini dilaksanakan dua hari
sebelum Nyepi (Sipeng)
2. TAHAP KEDUA (NYEJER DI PURA)
Sekembalinya dari melasti, pretima (niyasa Ida
Bethara) di-stanakan di Pura. Di sini warga masyarakat mendapat kesempatan
ngaturang ayaban serta mohon dianugerahi kesucian dan ketenteraman batin dalam
menyambut Hari Raya Nyepi.
3. TAHAP KETIGA (PECARUAN TAWUR KESANGA)
Dilaksanakan oleh Tri Sadaka di perapatan agung.
Hari itu tepat Tilem Chaitra (Kesanga).
Tujuan pecaruan adalah untuk membina hubungan
yang harmonis antara manusia dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa, manusia dengan
manusia, dan manusia dengan alam (Trihitakarana = tiga sebab yang menjadi
baik).
Caru yang digunakan:
- di
tingkat Propinsi: Tawur Agung
- di
tingkat Kabupaten: Panca Kelud
- di
tingkat Kecamatan: Panca Sanak
- di
tingkat Desa: Panca Sata
- di
tingkat Banjar: Eka Sata
- di
rumah masing-masing warga:
- di
Pamerajan menghaturkan kepada Ida Bethara peras, ajuman, daksina, ketipat
kelanan, canang lenga wangi, burat wangi, bija beras kuning
- di
natar Pamerajan menghaturkan kepada Sang Bhuta Kala segehan nasi cacah
108 tanding, ulam jejeroan mentah, segehan agung, tetabuhan arak/ berem/
tuak/ toya anyar
- di
pintu masuk halaman rumah nanceb sanggah cucuk dengan banten daksina,
jauman, peras, dandanan tumpeng ketan, sesayut, panyeneng, janganan
- di
bawah sanggah cucuk segehan agung, segehan manca warna 9 tanding, olahan
ayam brunbun, tetabuhan arak/ berem/ tuak/ arak/ air.
Setelah itu semua keluarga natab beakala,
prayascita, sesayut lara melaradan, lalu melaksanakan pangerupukan.
Acara terakhir adalah ngelinggihang pretima Ida
Bethara kembali ke palinggih semula (nyineb).
4. TAHAP KEEMPAT (SIPENG)
Melaksanakan Catur Brata Penyepian: Amati Agni,
Amati Karya, Amati Lalanguan, Amati Lelungaan.
- Amati
Agni, artinya tidak menyalakan api secara skala, dan api secara niskala,
yaitu marah, nafsu sex dan pikiran kotor lainnya.
- Amati
Karya, artinya tidak melaksanakan kerja fisik agar dapat melaksanakan
tapa, berata, yoga, samadi.
- Amati
Lalanguan (langu=indah, asyik, mempesona), artinya tidak menikmati
keindahan atau sesuatu yang mengasyikkan seperti nonton TV, mendengar
lagu-lagu, main judi, ceki, main catur, bergurau sambil tertawa, dll.
- Amati
Lelungaan, artinya tidak bepergian keluar rumah karena melaksanakan tapa,
berata, yoga, samadi.
5. TAHAP KELIMA (NGEMBAK AGNI)
Keesokan harinya sejak jam 06.00 melepaskan
Brata Penyepian, dan melaksanakan Dharma Shanti.
6. TAHAP KEENAM (BETHARA TURUN KABEH)
Jatuh pada Purnama Kadasa, yaitu 14 hari setelah
Sipeng. Pada hari ini Ida Sanghyang Widhi Wasa turun di Besakih diiringi oleh
segenap manifestasi Beliau sebagai Dewa-Dewi.
Ida Sanghyang Widhi Wasa turun ke Besakih karena
Bhuana Agung dan Bhuana Alit sudah “bersih” lalu memberkati umat manusia untuk
menikmati kehidupan yang lebih baik di tahun yang akan datang.
Di saat ini warga Hindu berduyun-duyun datang ke
Besakih menghaturkan sembah bakti serta mohon panugerahan.
Penyepian serta rangkaian upacara seperti diuraikan di atas
sesuai dengan sastra Agama, logis, dan sudah dibakukan dalam Keputusan
Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Tahun 1984 dan Keputusan Seminar Kesatuan
Tapsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu tahun 1988, tentang Hari Raya Nyepi.
Sumber :
http://www.babadbali.com
http://id.wikipedia.org
http://stitidharma.org
selamat ya
ReplyDelete