Kekuatan Impian (The Power of Dreams)
Impian dalam bahasa sekarang dikenal dengan sebutan VISI
Untuk memperoleh hal-hal terbaik dalam kehidupan ini, setiap kita harus memiliki impian ( visi ) dan tujuan hidup yang jelas. Setiap kita harus berani memimpikan ( memvisikan ) hal-hal terindah dan terbaik yang kita inginkan bagi kehidupan kita dan kehidupan orang-orang yang kita cintai.
Tanpa impian ( visi ), kehidupan kita akan berjalan tanpa arah dan akhirnya kita tidak menyadari dan tidak mampu mengendalikan ke mana sesungguhnya kehidupan kita akan menuju.

Kekuatan dari Fokus (The Power of Focus)
Fokus adalah daya (power) untuk melihat sesuatu termasuk masa depan, impian, sasaran atau hal-hal lain seperti kekuatan dan kelemahan dalam diri, peluang di sekitar kita, sehingga lebih jelas dan mengambil langkah untuk mencapainya.
Seperti sebuah kacamata yang membantu seorang untuk melihat lebih jelas, kekuatan fokus membantu kita melihat impian, sasaran, dan kekuatan kita dengan lebih jelas, sehingga kita tidak ragu-ragu dalam melangkah untuk mewujudkannya.

Kekuatan Disiplin Diri (The Power of Self Discipline)
Pengulangan adalah kekuatan yang dahsyat untuk mencapai keunggulan. Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang. Menurut filsuf Aristoteles, keunggulan adalah sebuah kebiasaan.
Kebiasaan terbangun dari kedisiplinan diri yang secara konsisten dan terus-menerus melakukan sesuatu tindakan yang membawa pada puncak prestasi seseorang. Kebiasaan kita akan menentukan masa depan kita.
Untuk membangun kebiasaan tersebut, diperlukan disiplin diri yang kokoh. Sedangkan kedisiplinan adalah bagaimana kita mengalahkan diri kita dan mengendalikannya untuk mencapai impian dan hal-hal terbaik dalam kehidupan ini.

Kekuatan Perjuangan (The Power of Survival)
Setiap manusia diberikan kekuatan untuk menghadapi kesulitan dan penderitaan. Justru melalui berbagai kesulitan itulah kita dibentuk menjadi ciptaan Tuhan yang tegar dalam menghadapi berbagai kesulitan dan kegagalan.
Seringkali kita lupa untuk belajar bagaimana caranya menghadapi kegagalan dan kesulitan hidup, karena justru kegagalan itu sendiri merupakan unsur atau bahan yang utama dalam mencapai keberhasilan atau kehidupan yang berkelimpahan.

Kekuatan Pembelajaran (The Power of Learning)
Salah satu kekuatan manusia adalah kemampuannya untuk belajar. Dengan belajar kita dapat menghadapi dan menciptakan perubahan dalam kehidupan kita. Dengan belajar kita dapat bertumbuh hari demi hari menjadi manusia yang lebih baik.
Belajar adalah proses seumur hidup. Sehingga dengan senantiasa belajar dalam kehidupan ini, kita dapat terus meningkatkan taraf kehidupan kita pada aras yang lebih tinggi.

Kekuatan Pikiran (The Power of Mind)
Pikiran adalah anugerah Tuhan yang paling besar dan paling terindah. Dengan memahami cara bekerja dan mengetahui bagaimana cara mendayagunakan kekuatan pikiran, kita dapat menciptakan hal-hal terbaik bagi kehidupan kita.
Dengan melatih dan mengembangkan kekuatan pikiran, selain kecerdasan intelektual dan kecerdasan kreatif kita meningkat, juga secara bertahap kecerdasan emosional dan bahkan kecerdasan spiritual kita akan bertumbuh dan berkembang ke tataran yang lebih tinggi.
Semua dari kita berhak dan memiliki kekuatan untuk mencapai kehidupan yang berkelimpahan dan memperoleh hal-hal terbaik dalam kehidupannya.
Semuanya ini adalah produk dari pilihan sadar kita, berdasarkan keyakinan kita, dan bukan dari produk kondisi keberadaan kita di masa lalu dan saat ini.
Sebagaimana dikatakan oleh Jack Canfield dalam bukunya The Power of Focus, bahwa kehidupan tidak terjadi begitu saja kepada kita. Kehidupan adalah serangkaian pilihan dan bagaimana kita merespons setiap situasi yang terjadi pada kita.

sumber: dr. suekantara
putu suardiana January 31, 2014
Read more ...
PENDAPAT BEBERAPA ORANG TENTANG ASAL USUL KITA

• Dari cahaya kita datang, dan pada cahaya kita semua akan kembali. ( Josiane Antonette )

• Ini adalah kasih Tuhan bagi kita yang mengirim kita ke dalam perjalanan kita dan itu adalah kasih kita bagi Tuhan yang memungkinkan kita untuk kembali lagi ke tanganNya yang penuh kasih. ( David Goines )

• Kita semua-mengetahui. Tapi kita telah memilih untuk melupakan sebagian besar pengetahuan kita ini dalam rangka untuk datang ke Bumi dan memiliki pengalaman manusia. ( Laurelynn Martin )

• Perumpamaan Yesus tentang anak yang hilang adalah kisah kosmik masing-masing kita dan setiap manusia. Kita semua lupa bahwa kita adalah anak-anak Tuhan dan bahwa sisi spiritual kita perlu kembali kepadaNya. ( Dr George Ritchie )

• Kita seperti bayi yang sedang merangkak, mencoba belajar bagaimana menggunakan kekuatan dalam diri kita. Ia adalah kekuatan yang maha kuat dan diatur oleh hukum-hukum yang akan melindungi kita dari diri kita sendiri. Tapi ketika kita bertumbuh dan mencari sesuatu yang positif di sekitar kita, hukum itu sendiri akan terungkap. Kita akan diberikan semuanya ketika kita siap untuk menerima. ( Betty Eadie )

• Kita adalah abadi dan tidak bisa dihancurkan. Kita selalu hidup, kita akan selalu, dan tidak ada cara di dunia ini dimana kita bisa hilang. Tidak mungkin bagi siapa saja untuk jatuh ke celah di alam semesta suatu tempat dan tidak pernah terdengar lagi. Kita benar-benar aman dan kita selalu ada selama-lamanya. ( Jayne Smith )

• Setelah menerima rencana penciptaan, kita [sebagai roh] bernyanyi dalam sukacita dan penuh dengan kasih Tuhan. Kita dipenuhi dengan kegembiraan ketika kita melihat pada pertumbuhan yang akan kita miliki di sini di Bumi dan ikatan menggembirakan yang akan kita buat satu sama lain. ( Betty Eadie )

• Bumi bukanlah rumah alami kita dan kita tidak berasal dari sini. Bumi hanya tempat sementara untuk pembelajaran kita dan setiap orang mengembangkan sebuah tingkat tertentu dari cahaya (pengetahuan) di sini. ( Betty Eadie )

• Alasan kita perlu mengalami pemisahan dari realitas total kita ketika kita berada dalam tubuh fisik adalah agar kita menghargai, memperoleh hasil, dan mempelajari semua yang kita dapat pelajari dari kehidupan fisik kita, kita harus kembali menemukan apa yang kita ketahui sebelumnya – dengan cara-cara fisik. Kita juga harus menemukan cara untuk kembali kepada Tuhan. Dengan kebaikan yang kita lakukan kepada satu sama lain di sini, dengan cara kita meningkatkan pikiran kita, dan dengan cara yang kita belajar untuk mengatasi tubuh fisik dan kehidupan fisik, kita mendapatkan hak kita untuk perjalanan yang aman menuju Tuhan, dan dengan melakukan itu, kita juga menghormati Tuhan. ( David Goines )

• Kita harus menciptakan sebagian besar kesempatan kita untuk diri kita sendiri dan Tuhan. Kita akan kembali kepada Tuhan dengan pengetahuan dan pengalaman yang kita telah dapatkan dan Tuhan ditingkatkan oleh pengetahuan dan pengalaman tersebut. ( David Goines )

sumber: dr. Suekantara
putu suardiana January 31, 2014
Read more ...
Putusuardiana.blogspot.com kali ini akan membahas Tahun Baru China merupakan hari raya yang paling penting dalam masyarakat China. Perayaan Tahun Baru China juga dikenal sebagai 春節 Chūnjié (Festival Musim Semi / Spring Festival), 農曆新年 Nónglì Xīnnián (Tahun Baru), atau 過年 Guònián atau sin tjia.
Diluar daratan China, Tahun Baru China lebih dikenal sebagai Tahun Baru Imlek. Kata Imlek (阴历 : Im = Bulan, Lek = penanggalan) berasal dari dialek Hokkian atau mandarinya yin li yang berarti kalender bulan. Perayaan Tahun Baru Imlek dirayakan pada tanggal 1 hingga tanggal 15 pada bulan ke-1 penanggalan kalender China yang menggabungkan perhitungan matahari, bulan, 2 energi yin-yang, konstelasi bintang atau astrologi shio, 24 musim, dan 5 unsur. (Festival Musim Semi).
Karena 1/5 penghuni bumi ini adalah orang China, maka Tahun Baru China hampir dirayakan oleh seluruh pelosok dunia dimana terdapat orang China, keturunan China atau pecinan. Banyak bangsa yang bertetangga dengan China turut merayakan Tahun Baru China seperti Taiwan, Korea, Mongolia, Vietnam, Nepal, Mongolia, Bhutan, dan Jepang.
Khusus di daratan China, Hong Kong, Macau, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan negara-negara yang memiliki penduduk beretnis China, Tahun Baru China dirayakan dan sebagian telah berakultrasi dengan budaya setempat.

Sejarah

Sebelum Dinasti Qin, tanggal perayaan permulaan sesuatu tahun masih belum jelas. Ada kemungkinan bahwa awal tahun bermula pada bulan 1 semasa Dinasti Xia, bulan 12 semasa Dinasti Shang, dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou di China. Bulan kabisat yang dipakai untuk memastikan kalendar Tionghoa sejalan dengan edaran mengelilingi matahari, selalu ditambah setelah bulan 12 sejak Dinasti Shang (menurut catatan tulang ramalan) dan Zhou (menurut Sima Qian). Kaisar pertama China Qin Shi Huang menukar dan menetapkan bahwa tahun tionghoa berawal di bulan 10 pada 221 SM. Pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun sampai sekarang. Tahun pertama Tahun Baru Imlek/Yinli dihitung berdasarkan tahun pertama kelahiran Kongfuzi (Confucius), hal ini dilakukan oleh Kaisar Han Wudi sebagai penghormatan kepada Kongfuzi yang telah mencanangkan agar menggunakan sistem penanggalan Dinasti Xia dimana Tahun Baru dimulai pada tanggal 1 bulan kesatu. Oleh sebab itu sistem penanggalan ini dikenal pula dengan Kongzili.

MITOS
Menurut legenda, dahulu kala, Nián () adalah seekor raksasa pemakan manusia dari pegunungan (atau dalam ragam hikayat lain, dari bawah laut), yang muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak dan bahkan penduduk desa. Untuk melindungi diri merka, para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada awal tahun. DIpercaya bahwa melakukan hal itu Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil Panen. Pada suatu waktu, penduduk melihat bahwa Nian lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian berwarna merah. Penduduk kemudian percaya bahwa Nian takut akan warna merah, sehingga setiap kali tahun baru akan datang, para penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu. Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Adat-adat pengurisan Nian ini kemudian berkembang menjadi perayaan Tahun Baru. Guò nián (Hanzi tradisional: 過年; Tionghoa: 过年), yang berarti "menyambut tahun baru", secara harafiah berarti "mengusir Nian".[1][2]
Sejak saat itu, Nian tidak pernah datang kembali ke desa. Nian pada akhirnya ditangkap oleh 鸿钧老祖 atau 鸿钧天尊Hongjun Laozu, seorang Pendeta Tao dan Nian kemudian menjadi kendaraan Honjun Laozu.

Sejarah Tahun Baru Imlek di Indonesia

Di Indonesia, selama tahun 1968-1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003.
Pada tahun 1946, ketika Republik Indonesia baru berdiri, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang hari-hari raya umat beragama No.2/OEM-1946 yang pada pasal 4 nya ditetapkan 4 hari raya orang Tionghoa yaitu Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu ( tanggal 18 bulan 2 Imlek), Ceng Beng dan hari lahirnya Khonghucu (tanggal 27 bulan 2 Imlek). Dengan demikian secara tegas dapat dinyatakan bahwa Hari Raya Tahun Baru Imlek Kongzili merupakan hari raya Agama Tionghoa.
Orang Tionghoa yang pertama kali mengusulkan larangan total untuk merayakan Imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa di Indonesia kepada Presiden Soeharto sekitar tahun 1966-1967 adalah Kristoforus Sindhunata alias Ong Tjong Hay. Namun, Presiden Soeharto merasa usulan tersebut terlalu berlebihan, dan tetap mengijinkan perayaan Imlek, adat istiadat, dan budaya tionghoa namun diselengarakan hanya di rumah keluarga tionghoa dan di tempat yang tertutup, hal inilah yang mendasari diterbikannya Inpres No. 14/1967.
Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh Upacara Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis dan bertahap atas identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa termasuk Kepercayaan, Agama dan Adat Istiadatnya. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh Perayaan Tradisi dan Keagamaan Etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Demikian juga tarian Barongsai dan Liong dilarang dipertunjukkan.
Tahun itu pula dikeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang isinya menganjurkan bahwa WNI keturunan yang masih menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi. Hal ini didukung pula oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB).
LPKB menganjurkan keturunan Tionghoa, antara lain, agar :
- Mau melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa.
- Menikah dengan orang Indonesia pribumi asli.
- Menanggalkan dan menghilangkan agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa, termasuk bahasa maupun semua kebiasaan dan kebudayaan Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari, termasuk larangan untuk perayaan tahun baru imlek.
Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). BKMC berada di bawah BAKIN yang menerbitkan tak kurang dari 3 jilid buku masing-masing setebal 500 halaman, yaitu "Pedoman Penyelesaian Masalah Cina" jilid 1 sampai 3. Dalam hal ini, pemerintahan Soeharto dengan dengan tegas menganggap keturunan Cina dan kebiasaan serta kebudayaan Cina, termasuk agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa sebagai "masalah" yang merongrong negara dan harus diselesaikan secara tuntas.
Kemudian dengan diterbitkannya SE Mendagri No.477 / 74054 tahun 1978 tertanggal 18 Nopember 1978 tentang pembatasan kegiatan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, yang berisi antara lain, bahwa pemerintah menolak untuk mencatat perkawinan bagi yang Beragama Khonghucu dan penolakan pencantuman Khonghucu dalam kolom Agama di KTP, yang di dukung dengan adanya kondisi sejak tahun 1965-an atas penutupan dan larangan beroperasinya sekolah-sekolah Tionghoa, hal ini menyebabkan terjadi eksodus dan migrasi identitas diri sebagian besar orang-orang Tionghoa ke dalam Agama Kristen sekte Protestan, dan sekte Katolik, Buddha bahkan ke Islam. Demikian juga seluruh perayaan ritual kepercayaaan, agama dan adat istiadat Tionghoa termasuk perayaan Tahun Baru baru Imlek menjadi surut dan pudar.
Surat dari Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag No H/BA.00/29/1/1993 menyatakan larangan merayakan Imlek di Vihara dan Cetya. Kemudian Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) mengeluarkan Surat Edaran No 07/DPP-WALUBI/KU/93, tertanggal 11 Januari 1993 yang menyatakan bahwa Imlek bukanlah merupakan hari raya agama Buddha, sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dengan menggotong Toapekong, dan acara Barongsai.
Pada tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres N0.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan Upacara-upacara Agama seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya secara terbuka.
Pada Imlek 2551 Kongzili di tahun 2000 Masehi, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) mengambil inisiatif untuk merayakan Imlek secara terbuka sebagai puncak Ritual Agama Khonghucu secara Nasional dengan mengundang Presiden Abdurrahman Wahid untuk datang menghadirinya.
Pada tanggal 19 Januari 2001, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.
Pada saat menghadiri perayaan Imlek 2553 Kongzili, yang diselenggarakan Matakin dibulan Februari 2002 Masehi, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan mulai 2003, Imlek menjadi Hari Libur Nasional. Pengumuman ini ditindak lanjuti dengan dikeluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek tertanggal 9 April.

SEJARAH PENANGGALAN IMLEK
Huang Di
Dragon Latern
Sistem kalender China mulai dikembangkan pada millenium ketiga sebelum masehi, konon ditemukan oleh penguasa legendaris pertama, Huáng Dì, yang memerintah antara tahun 2698 SM – 2599 SM. Dan dikembangkan lagi oleh penguasa legendaris keempat, Kaisar Yáo. Siklus 60 tahun (gānzhī atau liùshí jiǎzǐ) mulai digunakan pada millennium kedua sebelum masehi. Kalender yang lebih lengkap ditetapkan pada tahun 841 SM pada zaman Dinasti Zhōu dengan menambahkan penerapan bulan ganda dan bulan pertama satu tahun dimulai dekat dengan titik balik matahari pada musim dingin.

Dinasti Qin
Kalender Sìfēn (empat triwulan), yang mulai diterapkan sekitar tahun 484 SM, adalah kalender China pertama yang memakai perhitungan lebih akurat, menggunakan penanggalan matahari 365¼ hari, dengan siklus 19 tahun (235 bulan), yang dalam ilmu pengetahuan Barat dikenal sebagai Peredaran Metonic. Titik balik matahari musim dingin adalah bulan pertamanya dan bulan gandanya disisipi mengikuti bulan ke 12. Pada tahun 256 SM, kalender ini mulai digunakan oleh negara Qín, kemudian diterapkan di seluruh negeri Cina setelah Qín mengambil alih keseluruhan negeri Cina dan menjadi Dinasti Qín. Kelender ini tetap digunakan sepanjang separuh pertama Dinasti Hàn Barat.

Dinasti Han
Kaisar Wǔ dari Dinasti Han Barat memperkenalkan reformasi kalender baru. Kalender Tàichū (Permulaan Agung) pada tahun 104 SM mempunyai tahun dengan titik balik matahari musim dingin pada bulan ke 12 dan menentukan jumlah hari untuk penanggalan bulan (satu bulan 29 atau 30 hari) dan bukan sesuai dengan prinsip terminologi matahari (yang secara keseluruhan sama dengan tanda zodiak). Sebab gerakan matahari digunakan untuk mengkalkulasi Jiéqì (ciri-ciri musim).


REALITAS MAKNA TAHUN BARU IMLEK
Terlepas apakah mitos itu benar atau tidak, yang pasti perayaan Imlek merupakan perayaan yang dilakukan oleh para petani di Cina setelah melewati musim dingin yang menusuk dan mensyukuri permulaan musim baru penuh harapan yakni musim semi yang terjadi tiap tahunnya.

Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama (Cap Go Meh). Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Thian, dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan dari persembahyangan ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga.

Yang pasti, hari raya Imlek merupakan momen pertemuan seluruh anggota keluarga sekali dalam setahun. Anggota keluarga akan bersilahturahmi, saling berbagi dan memberikan pengalaman selama setahun. Perayaan ini menjadi sangat berarti tatkala setiap anggota keluarga dan tetangga saling menjalin kasih, saling mengayomi, dan memulai lembaran baru (dengan pakaian baru).


Kalimat Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek

Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek bahasa Indonesia

Gong Xi Fat Cai, Selamat Tahun Baru Imlek

Gong Xi fat Cai Saya dan keluarga mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek.

Gong Xi Fat Cai, Semoga selalu diberikan kesuksesan

Gong Xi Fat Cai, Semoga selalu diberikan kesehatan dan umur panjang

Gong Xi Fat Cai, Semoga tahun ini akan menjadi tahun yang lebih baik dari pada tahun kemarin

Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek bahasa Mandarin

'Xin-Nian-Kuai-Le' – Artinya adalah Selamat merayakan tahun baru

'Shen-Ti-Jian-Kang' – Artinya adalah Semoga selalu diberikan kesehatan

'Da-Ji-Da-Li' – Artinya adalah Semoga selalu mendapat keberkahan

'Bu-Bu-Gao-Sheng' – Artinya adalah Semoga hubungan pekerjaan semakin baik

'Sheng-Yi-Xing-Rong' – Artinya adalah Semoga pekerjaan menjadi semakin maju

'Wan-Shi-Ru-Yi' – Artinya adalah semoga apa yang diinginkan segera tercapai

'Gong-Xi-Fat-Cai' – Artinya adalah Semoga menjadi bahagia dan cepat menjadi kaya raya

Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek bahasa Inggris

Happy Chinese New Year !. I hope better luck come into us at this new year. Gong Xi Fat Cai 2564

GONG XI FA CAI ! I wish this year is a wonderful and prosperous your to us.

Gong Xi Fat Cai !. I wisy this year is a prosperous year. I hope this year is a great health and happiness for you and family.

putu suardiana January 30, 2014
Read more ...
Salah satu cara blogger untuk meningkatkan trafik adalah dengan saling membalas komentar pada tulisan atau posting yang telah dibuat. Namun kadang seiring dengan semakin banyaknya posting pada blog menyulitkan untuk membalas satu persatu komentar yang kadang muncul pada postingan yang berbeda. Recent Comment di blog sangat membantu untuk mengetahui seberapa banyak pengunjung yang telah meninggalakan Komentar mereka tanpa anda harus mengecek satu persatu postingan pada dashbord blogger.

Berikut cara membuat Recent Comment pada blog:

1. Blogger Dashboard >> Layout >> Add a Gadget.
2. Pilih menu gadget HTML/JAVASCRIPT 
3. Copy kode HTML dibawah ini dan paste pada kotak HTML

<script style=text/javascript src="http://helplogger.googlecode.com/svn/trunk/recent comments widget.js"></script><script style=text/javascript >var a_rc=5;var m_rc=false;var n_rc=true;var o_rc=100;</script><script src=http://NAMA BLOG ANDA.blogspot.com/feeds/comments/default?alt=json-in-script&callback=showrecentcomments ></script><span id=rcw-cr><a href=http://putusuardiana.blogspot.com/>Putu Suardiana Utama</a></span><style type=text/css> .rcw-comments a {text-transform: capitalize;} .rcw-comments {border-bottom: 1px dotted; padding-top: 7px!important; padding-bottom: 7px!important;} #rcw-cr {font-family: Arial,Tahoma;font-size:9px;padding-top:7px;display:block;} </style>
4. Ganti Text NAMA BLOG ANDA dengan URL blog anda sendiri.
5. Save dan letakkan sesuai keinginan pada blog anda.

Selamat Mencoba.

putu suardiana January 30, 2014
Read more ...
Inggih ida dane sareng sami, sampun pada pawikan, rahina mangkin Prawaning Tilem Kepitu/Caturdasi Kresnapaksa Maghamasa, sane sampun kaloktah kawastanin Rarahinan Siwa Ratri. Maosang indik Siwa Ratri, sampun kalumrah pisan ring pambiaran, duaning ida dane umat Hindu pamekas, sampun ngalaksanayang sabilang warsa.

Ring jagat Nusantarane pamekas ring Bali, indik Siwa Ratrine punika, sampun dados unteng beblibagan ring pasantian, mapiranti antuk Kekawin Siwa Ratri Kalpa, pinaka sastra Jawa Kuno, sane kekawi olih Mpu Tanakung, ring Bali kabaos Kekawin Lubdhaka. Duaning makeh ida danene durung cacep ring basa Kawi/Jawa Kuno, para pangawi Baline katah makarya kekawian marupa Parikan Lubdaka, sane ngangge basa Bali Lumrah. Indike punika maka cihna umat Hindu ring Bali oneng ring daging cakepanne punika.
Unteng dagingnyane wantah satua, satuan Sang Lubdaka. Sang Lubdaka punika wenten maosang Sang Nisada, Sabara miwah Pulinda, sane mateges juru boros. Mungguing reringkesan satua Lubdaka, inggih punika :
Sang Lubdhaka kasarengin olih pianak somahnyane magenah ring pucak gunung. Setata ipun madruwe geginan wantah maboros, kangge upajiwa kulawarganipune. Ri kala dina nemonin caturdasi kepitu, ipun maboros ngranjing ka tengahing alas sregep saha gegawan. Nanging ring sajeroning pajalan ipunne nenten ngamolihang daging tetujon, dados sayan joh pajalanipunne, ngantos kapetengan ring tengahing alas. Kala irika ipun madruwe manah ajerih, yening ngoyong beten sinah sarap buron. Raris ipun menek ring wit bilane. Taler ipun ajerih duaning kiapnyane, yening pules sinah ulung sarap macan. Angge ipun nungkulang kiap raris ngepik-ngepik daun bila, tur kaulungang ring telagane, irika tan pajamuga nganenin Lingga pinaka linggih Ida Sanghyang Siwa.
Gelising crita sampun semengan raris mulih ngusap-ngusap lima, duaning nenten mapikolih.
Suwening asuwe gelem tur nglantur padem I Lubdhaka. Kacrita atmanyane kabingungan, tur kasingse olih watek Kingkara Balane, kategul, kaseret lan katitig. Nanging tan asuwe rawuh Gana Balane, sangkaning titah Sanghyang Siwa, raris kapendak kapaica genah ring Siwaloka, sangkaning ipun nglaksanayang brata Siwa Ratri.
Inggih asapunika daging satuane.
Malarapan antuk satuane punika, iring titiang ida dane sareng urati ring parindikan punika, ngiring rereh suksemannyane, duaning sang Kawi waged pisan mingitang daging kekawianidane. Sang Lubdhaka setata mamati-mati, himsa karma, ngamademang buron sane panggihipun. Sangkaning nglaksanayang brata Siwaratri, sesampun padem atmanipune polih Swargaloka.
Yening matra-matra pikayunin sinah nungkalik ring ajah-ajah Karmaphala. Nanging yening uratiang pisan, I Lubdhaka, ri sampun padem atmanipune sampun polih kasingse olih Kingkara Balane, nampi pikolih himsa karmane, pamuput ipun polih genah suci Siwaloka. Kasinahanipun iriki Ida Sang Kawi Wiku, Ida Mpu Tanakung, sinah madruwe tetujon sane pingit, kangge ngetus pikayun ida danene mangda kayun ngamargiang ajah-ajahan agama Siwaratri.
Sapunika taler parilaksanan I Lubdhaka, nungkalik pisan ring Dharma, setata ngulurang indriya, mamati-mati. Punika yening rereh ring sesuduk sang maraga suci, makadi ida para wiku, sane sampun patut prasida mitetang indriya, nenten himsa karma, setata nyunjung Dharma ring jagate. Iring uratiang I Lubdhaka janma biasa, wong pretakjana, manawita pateh ring iraga lan ida dane sareng sami.
Elingang I Lubdhaka magenah ring alas gunung, napike sane prasida kagarap, kangge nyambung kahuripan pianak somahipune ? Yen uratiang wantah ipun nglaksanayang swadharma, duaning ipun sane kandelang ngruruh pangupajiwa, kangge nglanturang kahuripanne, wantah majalaran maboros. Kadadosan ipun I Lubdhaka satya ring Swadharma, tur punika sane kalaksanayang kantos ipun padem. Tur ipun sampun nerima pikolih karman ipun, nanging sangkaning Satya lan Swadharma, mapiranti antuk brata Siwaratri, ipun polih swarga. Tur I Lubdhaka mapainget ring iraga sareng sami, mungguing kautaman brata Siwaratrine.
Nanging yening ruruh ring sajeroning tetujon hidup i manusa, sane kabaos Catur Purusartha, Dharma, Artha, Kama lan Moksa. Kasinahanne Dharma pinaka dasar angge ngruruh artha, kama, pamekas moksa. Artha lan kama yang tan padasar Dharma, kabaos nirdon. Punika duaning dharma, artha, kama patut pisan margiang becik-becik ring jagate, sane angge piranti nyujur Moksa.
Raris wenten ring pambiaran maosang brata Siwa Ratri, wantah pinaka : Malam Peleburan Dosa. Indike punika patut rerehang pamargi pamatut, mangdane nenten ngirangang unteng sukseman Siwaratrine.
Malih iring titiang ida dane mikayunin, Satua Lubdhaka (Siwaratri Kalpa), sane kekawi olih Mpu Tanakung, sane banget wenten sangketannyane ring Rarahinan Siwa Ratri rawuhing bebratannyane. Raris wetu pitaken : Sirake Mpu Tanakung punika ? Yening rereh suksemannyane wantah ida sang maraga suci, sane sampun prasida mitetang indriya, tur prasida amor ring sangkan paran. Mpu mateges sang maraga suci; tan mateges nenten; kung mateges indria utawi smara.
Raris malih wetu pitaken, napike wantah I Lubdhaka sane maboros, napike nenten Ida Mpu Tanakung, sane dados pratiwimba dados juru boros ? Ring satuane sane kaborosin beburon sane mageng. Napike sukseman beburonne punika ? Indike punika iring titiang sareng sami mikayunin.
Ring satuane kabaosang I Lubdhaka boya ja janma sane nandang dosa, nanging ipun wantah mawak papa. Napike papane punika ? Taler wenten anak maosang, iraga sareng sami puniki wantah juru boros ring jagate , manut swagina lan swadharma soang-soang. Wenten sane morosin Dharma, wenten sane morosin Artha, Kama. Wenten sane urati morosin ajeng-ajengan, wenten sane morosin pangaweruh, wenten sane morosin smara, wenten sane morosin kawisesan, tur sane lianan. Manawita iraga puniki Lubdhaka-Lubdhaka sane kantun kapetengan, raris nunas galang ring rahina mangkin nemonin Siwaratri.
Iring titiang malih mapikayun, uripe puniki waluya sekadi magenah ring gedonge sane mauneb, sinah peteng dedet, asapunapi antuk mangda mikolihang galang ? Iring titiang rawuh ring dwarane, getok-getok saking tengah, mangdane prasida dwarane mampakang, sinah prasida manggihin galang. Napi suksemanne punika ?
Iring uratiang malih sane kaborosin wantah buron sane ageng, sirake sinengguh buron sane ageng? Nenten seos Sanghyang Pasupati dewaning beburon, sirake sane nenten mapikayun nyujur Sanghyang Pasupati/Sanghyang Widhi ?
Inggih ngiring cutetang, laksanayang yogane sekadi I Lubdhaka ring rahina Siwaratrine puniki, mangda mikolihang tetujon sane pamekas.
Sakweh ning papanika sang yogiswara, lawan iking wasana kabeh, yateka tinunwan de bhatara Siwagni, ri huwusnya hilang ikang karmawasana, tamolah alanggeng samadhinira, tan molah bhatara ri sira yan mangkana, ya ta matangnyan cintamani sira, asing sakaharep nira teka,, sakahyun ira dadi, ndah wyaktinya kapanggih ikang kasteswaryan de nira
(Sahananing kapapan sang yogiswara rawuh ring karma wesana sami, sinah ical, kabasmi olih Ida Sanghyang Siwagni, wantah langgeng samadhin idane nenten pisan obah, yening sampun prasida punika, napi sane kapikayun pacing rawuh, napi sakaluire kapanggih, sinah pacang manggihang kadegdegan).
Wenten pitutur Sanghyang Siwa, ring kaluihan Siwaratrine :
Sapapa niki nasa de niking atanghi manuju siwaratri kottama, sapapa nika sirna de nikang phalaning brata winuwusakenku tan salah
Sahananing papane, kasengsaranne punika lebur sirna, sangkaning majagra (magadang) ring rahina siwaratri sane utama, sakancanne punika sirna sangkaning brata sane sampun kajantenang, sinah nenten iwang
Ida dane sareng sami sane wangiang titiang.
Napi sane atur uningayang titiang di wawu, yening rereh malih daging kasuksmanne, kasinahan akeh sane kantun singid. Yadiastun asapunika, iring titiang ida dane mapikayun, makadi :
Kawi lan Wiku; Aturu lan Atutur; Papa lan Tapa; Yama lan Maya; Pasu lan Pasa; Indra lan Indria; Mona lan Moni, Jagra lan Lupa; Brata lan Indria.
Kawi mapiteges sang pangripta/pengarang. Mahakawi, pangawi sane wikan. Ring Kakawin Astiakayana, wenten kabaos : “mangken phalguna masa kepwan ing ulah kapetengan i hatingku tan sipi, …. de nini rajah tamah pwa wreddhya, … yan tan sang wiku siddhawakya kadi landep ing isu rasaning manah licin”.
Maka pralambang sang Kawi mabinayan ring sang Wiku. Di asapunapine Wiku lan Kawi maraga tunggal. Wenten sang Wiku taler ida maraga sang Kawi, punika taler wenten sang Kawi dados Wiku, sering kabaos Kawi Wiku.
Manut ucap ring ajeng, Sang Kawi kabaos ri kala sasih Kapat, wantah sang Kawi prasida ngamedalang daging pikayun, mawetu Kakawian sane mabuat, punika sane kabaos Amretamasa. Yening ri kala jagat gulem peteng ri kala sasih Kepitu lan Kawelu, hujanne tedun, ri kala punika Ida Sang Wiku tedun mapica ajah-ajah, maka panuntun nyujur sane galang. Punika maka piteket ring rarahina Siwaratri. Asapunapi Ida Mpu Tanakung ?
Aturu lan Atutur, aturu tegesnya sirep; atutur tegesnyane eling. Kruna eling taler marti smreti, lan kruna atutur ring Kakawin Siwaratri kabaos atanghi, sane madruwe kasuksman pateh.
Ring Pustaka Wrehaspati Tattwa kabaos ri kala bebabaosan Bhagawan Wrehaspati ring Bhatara Iswara, irika wenten kabaos indik turu, lupa lan papa
“….apan jatinikang mamangan menak turunya, ikang turu magawe lupaning atma, lupa pweka ng inabhyasanya, gatinya de nikang wuk turu, ya ta matangnyan dadi pasu ……”
Sang sane seneng oneng ngulurin indria ring ajeng-ajengan, sinah leplep sirepnyane, sangkaning sirepe punika mawetu sang atma lupa (tan eling) ring kasujatinne, sang sane setata sirep kewanten pacang numadi dados beburon.
Sapunika taler pablibagan olih Ida Bhagawan Wrehaspati :
” …ndya teka luputa ring papa, matangnyan lepasa sangkeng naraka ….”
Asapunapi antuk mangdane prasida lepas sakeng papa, sinah pacang lepas sakeng papa naraka ?
Kacawis olih Sanghyang Iswara :
” ……..yan matutur ikang atma ri jatinya, irika ta yan alilang, sang atma juga humidepa saka sukha duhkhaning sarira ….”
Yening sampun Sanghyang Atma eling ring kasujatiaane, pikayunne dados ening suci, duaning wantah Sanghyang Atma sane prasidha uning ring suka duka ring sajeroning kayun.
Ring Kakawin Arjuna Wiwaha, wenten kabaos “amuter tutur pinahayu
Papa lan Tapa, mateges sapasira ugi sane kantun kaiket antuk indria, tan menget ri kajatinya. Sane angge mucehang punika wantah Tapa, umeret ikang indria, ngubda wisayan indriane antuk sane mawasta Tapa Brata. Brata utawi wrata, sinalih tunggil ajah-ajahan agama Hindu sane mabuat, punika duaning ida sang Wiku kabaos Wrati/Brati, sang sane prasida ngamargiang Brata (Wrati Sasana). Kruna brata mapaiketan pisan ring kruna Tapa “sampun ayasa angrencem tapa mwang brata, amangun tapabrata padha gong yoga“.
Yama lan Maya, Yama inggih punika bhisekan ida Sanghyang Widhi, maka panepas sahananing karma ring Swargaloka. Maya punikapikobet siluman sange ngiket ipun manusa. Sapasira sane kaiket antuk Maya sinah pacang kakenen pikolih karma olih Hyang Yama. Elingang atman sang Lubhdaka kasingse olih Yamabala.
Pasu lan Pasa, pasu mateges beburon lan pasa mateges tali. Lalu ada kata Pasupati, bhisekan Ida Sanghyang Siwa utawi Rudra, sane maka senjatanida Pasuyuddha (ri kala ngarepin sang Arjuna), sane pinaka panugrahan Hyang Siwa ring Arjuna, pinaka Pasupati
Astra. Elingang asapunapi pamargin Sang Arjuna ri kala maperang tanding sareng Hyang Siwa Rudra.
Anakku huwus katon abhimananta temunta kabeh, hana panugrahangku cadusakti winimba sara, pasupati sastrakastu pangarannya nihan wulati“.
Suksmanuipun, sahananing manah sane maka pasu/kala/indria, patut kalepas tali panegulannya (pasa), wawu prasidha nincap kasucian, mapanggih lawan Hyang Siwa. Manusa sane prasida lepas (pasa) sane marupa pasu, punika maka pralambang polih panugrahan Pasupati. Pasu – Pasa – Pasayuddha – Pasupati.
Indra lan Indria, elingang asapunapi gegodan Hyang Indra ring ring Sang Arjuna. Ring tepengan Siwaratri, Lubdhaka sane prasida nglaksana Japa (metik don bila), Tapa, Brata, Yoga lan Samadhi, kapungkuran prasida molih Siwaloka.
Mona lan Moni, Mona mateges “meneng” tan mabebaosan. Muni, sang maraga suci (Elingang satua ring Adi Parwa, Sang Parikesit seda, sangkaning duka ring Muni sane Mona).
Jagra lan Lupa, Jagra, eling sang sane tan eling kabaos lupa.
Inggih ida dane sareng sami, kasuksman Siwaratine punika makelingang mangdane iraga prasada eling/menget/jagra, maduluran antuk Mona lan Upawasa.
Inggih asapunika jagra winungun titiang ring rahina Siwaratrine puniki, kirang langkung titiang banget nunas pangampura.
Puput.
OM Santih Santih Santih OM

sumber: http://panbelog.wordpress.com
putu suardiana January 29, 2014
Read more ...
Siwalatri/Siwaratri atau Malam Siwa. Latri berarti malam (gelap). Dan bahkan malam itu adalah malam tergelap dibanding malam-malam lainnya. Kalangan krama Bali beragama Hindu umum menyebutnya "peteng pitu".
Siwa Ratri (Siwa Latri) diartikan sebagai  “malam siwa”, karena pada hari tersebut Tuhan yang bermanifestasi sebagai Sang Hyang Siwa beryoga.
Hari suci ini jatuh pada purwaning tilem sasih kepitu, yaitu untuk memohon pengampunan dosa ke hadapan Hyang Widhi Wasa. Hari raya Siwa Ratri juga disebut malam peleburan dosa. Gelap bisa menakutkan dan menciutkan nyali bagi sebagian orang. Karena menurut mereka di dalam gelap bercokol setan dan berbagai mahluk pemangsa lainnya. Tetapi sebagaian orang lagi gelap merupakan media dalam mendapatkan ketentraman batinnya. Dalam kegelapan malam ada keheningan kesunyian dan kedamaian, makanya mereka memburu gelap, termasuk malam siswa malam paling gelap sehari menjelang Tilem Kepitu

Umat patut melaksanakan brata, meningkatkan kesucian rohani dan latihan mengekang hawa nafsu. Tujuannya agar memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan di dunia ini. Terbebas dari berbagai godaan yang bisa menjerumuskan dan menyesatkan hidup, karena perbuatan menyimpang dari ajaran dharma atau Agama.
Brata Siwarâtri terdiri dari:
  1. Utama, melaksanakan:
     * Monabrata (Berdiam diri dan tidak berbicara).
     * Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
     * Jagra (berjaga, tidak tidur).
  2. Madhya, melaksanakan:
      * Upawasa.
      * Jagra.
  3.Nista, hanya melaksanakan:
      * Jagra.

Di Bali, Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka yang dikarang oleh Mpu Tanakung seorang mpu besar di zamannya. Adalah Lubdhaka si pemburu miskin yang berbahagia dalam perjalanan hidupnya, sekalipun tidak disadari karena secara kebetulan. Dikatakan berbahagia, lantaran sekalipun dalam sehari-hari selalu melakukan tindakan sadis, melakukan pembunuhan satwa (binatang), tetapi bisa masuk surga sesudah meninggal. Lubdaka dilukiskan sebagai pemburu yang tentu saja gemar membunuh binatang-binatang buruan di hutan. Pada suatu hari, ia tidak dapat binatang buruan, kemudian kemalaman dan dia naik pohon bila. Karena takut terjatuh yang akan menjadi santapan binatang buas, ia memetik daun bila dan dijatuhkannya ke dalam kolam. Maksudnya supaya dia tudak mengantuk dan tertidur. Ternyata yang dimaksudkan dengan kolam itu adalah kolam dan di situ ada stana Hyang Siwa. Lubdaka akhirnya mendapatkan anugerah, kelak ketika ia mati, otomatis ia akan masuk sorga. Dosa-dosanya sudah terlebur oleh bergadang semalam suntuk itu.
Makna simbolik dari cerita lubdhaka
1. Hari Perayaan Siwaratri.
Siwaratri yang datang setahun sekali yaitu pada hari 14 paruh gelap malam mahapalguna (januari-Februari), sehari sebelum Tilem kapitu, menyediakan seperangkat pengetahuan, nilai, norma-norma, pesan, dan symbol.
Kata ratri berarti malam, Karena itu Siwaratri berarti malam siva. Siva berarti baik hati, suka memaafkan, memberikan harapan, Dengan demikian siwaratri adalah malam untuk melebur kegelapan hati menu jalan yang terang.
Siwaratri jatuh setahun sekali pada purwaning tilem ke pitu (panglong ping 14 sasih kepitu). Menurut astronomi malam tersebut merupakan malam yang paling gelap dalam satu tahun, maka buana agung terdapat malam yang paling gelap, maka di buana alit pun ada. Kegelapan di buana alit dikenal dengan nama peteng pitu, yaitu mabuk karena rupawan (surupa), mabuk karena kekayaan (dana), mabuk karena kepandaian ( Guna), mabuk karena kebangsawanan (kulina), mabuk karena keremajaan (yohana), mabuk karena minuman keras(sura), dan mabuk karena kemenangan (kasuran).Kegelapan inilah terjadi karena kesimpang siuran dalam struktur alam pikiran. Kesimpang siuran ini terjadi karena pengaruh dasendriya, sehingga menghasilkan manusia yang mengumbar hawa nafsu.
2. Makna Kata Lubdaka.
Kata Lubdhaka (sansekerta) berarti pemburu . Secara umum pemburu adalah diartikan sebagai orang yang suka mengejar buruan yaitu binatang (sattwa). Kata Sattwa berasal dari kata sat yang artinya mulia sedangkan twa artinya sifat. Jadi sattwa adalah sifat inti atau hakekat. Dengan demikian Lubdhaka adalah orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.
3. Tempat Tinggal Lubdhaka.
Lubdaka dikisahkan tinggal di puncak gunung yang indah . gunung didalam bahasa sansekerta disebut acala yang tidak bergerak. Bahkan dalam ceritra wrespati kalpa dikisahkan Betara siwa dipuja di puncak gunung kailasa. Jadi tempat tinggal Lubdhaka di puncak gunung dapat diartikan bahwa ia adalah orang yang taat dan tekun memuja siwa (Siwa Lingga) atau yang sering disebut seorang Yogi
4. Alat Perburuan dan binatang Buruan.
Alat bebrburu si Lubdhaka adalah panah, symbol dari manah / pikiran. Dengan senjata pikiran ia selalu berburu budhi sattwa. Agar ia mendapatkan budhi sattwam mesti ia mengendalikan indrianya ( melupakan bekal makanan)
Binatang yang diburu oleh Lubdhaka adalah, gajah, badak, babi hutan. Dalam bahasa sansekerta gajah berarti asti, simbolis dari astiti bhakti. Sedangkan badak sama dengan warak bermakna tujuan sedangkan babi hutan (waraha) mengandung makna wara nugraha.
Dengan demikian ketiga binatang buruan tersebut mengandung makna bahwa Lubdhaka dengan pikirannya yang dijiwai oleh budhi sattwam senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang didasari oleh astiti bhakti dengan tujuan mendapatkan wara nugraha dari Ida Hyang widhi wasa ( Siwa).
5.  Berngkat berburu pada panglong ping 14.
Hari ke 14 paro terang di bulan magha ini Si Lubdaka tumben sial, tidak mendapat binatang. Ini adalah waktu kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual. Bulan dikatakan memiliki 16 kala kekuatan duniawi ini simbolik dari 1 + 6 = 7, yaitu sapta timira. Pada hari ke 14 paro simbolik 1+4 = 5 melambangkan panca indra. Jadi pada pang long ping 14 terang ini telah kehilangan 14 kala’ dan saat itu hanya masih tinggal 2 kala yakni raga (ego) dan kama ( nafsu ). Jadi jika kedua kala tadi mampu kita kalahkan maka disana Siwa akan memberikan rahmatnya.
6. Pagi hari memakai pakaian hitam kebiruan.
Hitam adalah lambang keberanian, keperkasaan. Pagi hari disebut Brahman muhurta “ hari Brahman, waktu yang baik untuk melakukan olah spiritual atau memuja Tuhan.
7. Berjalan sendirian.
Pemberani. Hanya orang yang tidak mengenal atau mampu mengatasi rasa takut  yang berani sendirian masuk hutan lebat. Simbolik dari mengikuti jalan yang disebut nirwrwti marga : jalan spiritual bagi seorang pertapa atau jnanin. Dalam makna berangkat sendirian maka tidak ada teman bicara itu berarti mona brata “ tidak berbicara”.
8. Menuju arah timur laut.
Menuju kiblat suci merupakan sandi dari kiblat utara symbol Ratri “ malam, gelap, hitam,dengan kiblat timur symbol Siwa atau Iswara siang, putih, terang, Simbolik paham sakti dengan paham Siwa.
9. Selama perjalanan banyak menemukan tempat suci yang rusak .
Simbolik dari merosotnya situasi politik dan merosotnya kehidupan religius umat Hindu.
10. Tidak seekor binatangpun didapatkan.
Binatang symbol “ ego” sifat binatang itu tidak lagi ditemukan pada diri sang pertapa , artinya pertapa telah berhasil mengalahkan keakuannya dan rasa kepemilikannya.
11. Tidak terasa senjapun tiba.
Symbol dari daya konsentrasinya kuat. Vivekananda mengatakan bahwa, semakin banyak waktu yang terlewatkan tanpa kita perhatikan , semakin berhasil kita dalam konsentrasi. Ketika yang lampau dan sekarang berdiam menjadi satu berarti saat itulah pikiran memusat. Sandyakala adalah hari sandi antara terang dan gelap yang menyebabkan kenyataan menjadi tidak jelas. Oleh karena seorang pertapa harus lebih awas dengan meningkatkan spiritualnya.
12. Naik pohon bilwa yang tumbuh di pinggir danau, dan duduk dicampang pohonya.Symbol dari meningkatnya kesadaran denagn jalan mediatasi untuk memurnikan pikiran agar daya budi terungkap. Pohon bilwa disimbolkan sebagai tulang punggung yang di dalamnya terdapat cakra-cakra , simpul-simpul energi spiritual yang satu dengan yang lainya saling berhubungan. Duduk di campang pohon melambangkan daya keseimbangan konsentrasi antara otak kiri dan kanan, yakni otak tengah. Naik keatas pohon melambangkan bangkitnya daya sakti yang disebut kundalini sang pertapa.
13. Ranu atau danau
Symbol Yoni lambang sakti atau Dewi, saktinya siwa adalah lambang kesuburan.
14. Di tengah danau ada Siwalingga nora ginawe.
Batu alami yang kebetulan ada ditengah danau . Lingga adalah symbol Siwa
15. Memetik daun bilwa.
Memetik ajaran Siwa. Kata Rwan atau ron, don, berarti daun dan dapat juga berarti tujuan. Jika dirangkai dengan kata maja atau bilwa maka melambangkan tujuan. Yakni mengembangkan kesadaran. Dengan demikian dapat diartikan dimana sang pertapa selalu memetik sari ajaran untuk mengembangkan kesadaran. Dalam hubungan jagrabrata olah kesadaran dengan mempelajari siwa tattwa ( ajaran hakekat ketuhanan) sampai akhirnya mencapai pencerahan rohani. Jadi Mpu tanakung disini menuliskan dengan simbolis yaitu olah budi dan rasa terpusat kepada Tuhan.Untuk itu disebutkan oleh Mpu tanakung ,mahaprabhawa nikanang brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat. Artinya brata siwararti adalah mampu meruwat sifat dusta dan keji. Cara meruwat itu adalah dengan melakukan dyana (meditasi), menyanyikan syair pujian, merafal mantra,melakukan japa ( menyebut nama Tuhan berkali-kali),
16. Tiba dipondok sore hari, menjelang petang (hari tilem).
Kenyataan umum setiap orang berburu pasti akan kembali pulang. Simbolnya kembali dari perjalanan suci yang dilakuakan selama dua hari satu malam : 36 jam.
17. Tiba di pondok Lubdaka baru makan.
Perjalanan berburu Lubdaka tidak membawa bekal, karena memang tidak rencana menginap. Simbol dari melakuakan upawasa, puasa tidak amkan, minum selama 36 jam, yakni dari pagi hari pada hari ke 14 paro terang, purwani tilem sampai besok senja kala hari ke 15 tilem
C. Kesimpulan.
Itulah critera  tentang Lubdaka dimana ceritra itu penuh makna dan arti. Seperti yang dikatakan Mpu Tanakung bahwa kita selayaknya dalam hidup ini selalu amuter tutur penehayu, yang artinya berusaha memutar kesadaran dengan cara yang tepat. Salah satunya adalah menjalankan brata siwaratri ini.
Dari cerita diatas dapat kita simpulkan bahwa Lubdaka adalah manusia biasa yang penuh dosa papa, mampu dengan secara kebetulan menjalankan ajaran / memuja Siwa di hari yang ratri, yaitu panglong ping 14 yang mana itu merupakan hari pemujaan Siwa, maka segala dosa yang pernah diperbuat mendapat pengampunan. Artinya, dosa –dosanya itu menjadi berkurang karena perbuatan yang baik, disaat yang tepat.


Berikut cerita dalam bahasa bali:
Sang Lubdhaka kasarengin olih pianak somahnyane magenah ring pucak gunung. Setata ipun madruwe geginan wantah maboros, kangge upajiwa kulawarganipune. Ri kala dina nemonin caturdasi kepitu, ipun maboros ngranjing ka tengahing alas sregep saha gegawan. Nanging ring sajeroning pajalan ipunne nenten ngamolihang daging tetujon, dados sayan joh pajalanipunne, ngantos kapetengan ring tengahing alas. Kala irika ipun madruwe manah ajerih, yening ngoyong beten sinah sarap buron. Raris ipun menek ring wit bilane. Taler ipun ajerih duaning kiapnyane, yening pules sinah ulung sarap macan. Angge ipun nungkulang kiap raris ngepik-ngepik daun bila, tur kaulungang ring telagane, irika tan pajamuga nganenin Lingga pinaka linggih Ida Sanghyang Siwa.
Gelising crita sampun semengan raris mulih ngusap-ngusap lima, duaning nenten mapikolih.
Suwening asuwe gelem tur nglantur padem I Lubdhaka. Kacrita atmanyane kabingungan, tur kasingse olih watek Kingkara Balane, kategul, kaseret lan katitig. Nanging tan asuwe rawuh Gana Balane, sangkaning titah Sanghyang Siwa, raris kapendak kapaica genah ring Siwaloka, sangkaning ipun nglaksanayang brata Siwa Ratri.


putu suardiana January 29, 2014
Read more ...
Bhagawadgita (Sanskerta: भगवद् गीता; Bhagavad-gītā) adalah sebuah bagian dari Mahabharata yang termasyhur, dalam bentuk dialog yang dituangkan dalam bentuk syair. Dalam dialog ini, Kresna, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa adalah pembicara utama yang menguraikan ajaran-ajaran filsafat vedanta, sedangkan Arjuna, murid langsung Sri Kresna yang menjadi pendengarnya. Secara harfiah, arti Bhagavad-gita adalah "Nyanyian Sri Bhagawan (Bhaga = kehebatan sempurna, van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna, ketampanan sempurna, kekayaan yang tak terbatas, kemasyuran yang abadi, kekuatan yang tak terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna, yang dimiliki sekaligus secara bersamaan).
File ini daat di download disini :
Bhagawad Gita

putu suardiana January 25, 2014
Read more ...
Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah "Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma", yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.
Agama sebagai pengetahuan kerohanian yang menyangkut soal-soal rohani yang bersifat gaib dan methafisika secara esthimologinya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata "A" dan "gam".  "a" berarti tidak dan "gam" berarti pergi atau bergerak. Jadi kata agama berarti sesuatu yang tidak pergi atau bergerak dan bersifat langgeng. Menurut Hindu yang dimaksudkan memiliki sifat langgeng (kekal, abadi dan tidak berubah-ubah) hanyalah Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Demikian pula ajaran-ajaran yang diwahyukan-Nya adalah kebenaran abadi yang berlaku selalu, dimana saja dan kapan saja. 
Berangkat dari pengertian itulah, maka agama adalah merupakan kebenaran abadi yang mencakup seluruh jalan kehidupan manusia yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi dengan tujuan untuk menuntun manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup yang berupa kebahagiaan yang maha tinggi dan kesucian lahir bathin.

Tujuan Agama Hindu

Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah "Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma", yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.

Dharma berarti kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup  manusia. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan sedangkan Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi atau pelepasan.

Di dalam memenuhi segala nafsu dan keinginan harus berdasarkan atas kebajikan dan kebenaran yang dapat menuntun setiap manusia di dalam mencapai kebahagiaan. Karena seringkali manusia menjadi celaka atau sengsara dalam memenuhi nafsu atau kamanya bila tidak berdasarkan atas dharma. Oleh karena itu dharma harus menjadi pengendali dalam memenuhi tuntunan kama atas artha, sebagaimana disyaratkan di dalam Weda (S.S.12) sebagai berikut:

    Kamarthau Lipsmanastu
    dharmam eweditaccaret,
    na hi dhammadapetyarthah
    kamo vapi kadacana.
Artinya:
Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka hendaknyalah dharma dilakukan terlebih dahulu. Tidak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti. Tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.

Jadi dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam Catur Purusa Artha, karena dharmalah yang menuntun manusia untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Dengan jalan dharma pula manusia dapat mencapai Sorga, sebagaimana pula ditegaskan di dalam Weda (S.S.14), sebagai berikut:

    Dharma ewa plawo nanyah
    swargam samabhiwanchatam
    sa ca naurpwani jastatam jala
    dhen paramicchatah
Artinya:
Yang disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga,  sebagai halnya perahu yang merupakan alat bagi saudagar  untuk mengarungi lautan.

Selanjutnya di dalam Cantiparwa disebutkan pula sebagai berikut:

    Prabhawar thaya bhutanam
    dharma prawacanam krtam
    yah syat prabhawacam yuktah
    sa dharma iti nicacayah
Artinya:
Segala sesuatu yang bertujuan memberi kesejahteraan dan memelihara semua mahluk, itulah disebut dharma (agama), segala sesuatu yang membawa kesentosaan dunia itulah dharma yang sebenarnya.

Demikian pula Manusamhita merumuskan dharma itu sebagai berikut:
"Weda pramanakah creyah sadhanam dharmah"
Artinya:
Dharma (agama) tercantum didalam ajaran suci Weda, sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan hidup, bebasnya roh dari penjelmaan dan manunggal dengan Hyang Widhi Wasa (Brahman).

Weda (S.S. 16) juga menyebutkan :

    Yathadityah samudyan wai tamah
    sarwwam wyapohati
    ewam kalyanamatistam sarwwa
    papam wyapohati
Artinya:
Seperti halnya matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, memusnahkan segala macam dosa.

Demikianlah dharma merupakan dasar dan penuntun manusia di dalam menuju kesempurnaan hidup, ketenangan dan keharmonisan hidup lahir bathin. Orang yang tidak mau menjadikan dharma sebagai jalan hidupnya maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang akan dialaminya. Hanya atas dasar dharmalah manusia akan dapat mencapai kebahagiaan dan kelepasan, lepas dari ikatan duniawi ini dan mencapai Moksa yang merupakan tujuan tertinggi. Demikianlah Catur Purusa Artha itu.

Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra
putu suardiana January 25, 2014
Read more ...
Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.
Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.

Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.
Sebagai Contoh: "Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu".
Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.

Agama Hindu di India

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa.
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.

Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.

Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.

Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.

Masuknya Agama Hindu di Indonesia

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.

Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:

Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.

Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

Agama Hindu di Indonesia

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.

Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.

Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.

Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Direproduksi kembali dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra
putu suardiana January 25, 2014
Read more ...
google.com, pub-2435098089246002, DIRECT, f08c47fec0942fa0
User-agent: Mediapartners-Google Disallow: User-agent: * Disallow: /search Allow: / Sitemap: https://putusuardiana.blogspot.com/sitemap.xml