Kepada Anda, saudara-saudaraku yang kini
tengah duduk di kursi sebuah jabatan mulai skala kecil hingga nasional, atau Anda,
saudara-saudaraku yang tengah mengerahkan semua energy untuk meraih keinginan
menjadi “nomor 1” baik dilingkup sebuah organisasi, perusahaan, pemerintah,
daerah dan atau tingkat nasional, atau termasuk Anda saudara-saudaraku yang
berkehendak untuk menghindar meskipun dikejar amanah untuk memimpin, atau Anda,
saudara-saudaraku yang kini tengah sangat bernafsu untuk bertengger di sebuah
singasana kekuasaan, cobalah istirahat sejenak untuk merenungkan secuil kisah
berikut ini (Yasasusastra, 2011:xi):
Raja Mabuk Rakyat Teler
Seorang raja Kerajaan Nandaka yang
bernama Birhadratha, sedang mengalami kebingungan. Ia pergi ke hutan untuk
melakukan pengendalian diri, yaitu berdiri mengangkat tangannya ke atas, sambil
menatap matahari. Pada hari yang keseribu dari tapa bratanya, datanglah pendeta
bernama Sakyanya. “Hentikan tapa brata anda dan katakan permintaan anda.
Kesaktian apa yang anda inginkan?” Raja Birhadratha menyahut dan menyatakan
kebingungannya atas ketidakabadian tubuhnya. Demikian pula dengan alam
mengalami kepunahan. Seperti serangga kecil bersayap, nyamuk, rerumputan,
pepohonan besar, itu muncul dan lenyap. Sang raja juga bingung melihat
mahluk-mahluk besar memiliki superioritas yang lebih besar. Mereka dapat
menghancurkan para Gandharwa, Asura, Yaksha, Rakhasa, Bhuta, mahluk halus,
hantu, ular, dll.
Manusia identik dengan alam. Ketika
manusia diberi kedudukan sebagai Raja, ketika salah mengendalikan dirinya maka
seolah-olah alampun mempercepat kehancuran dirinya. Demikian juga ketika dia
mampu mengendalikan dirinya, maka alampun dirasakan ikut mendukung karena alam
dipercayai sebagai penyebab membawa kebaikan maupun keburukan.
Dalam Nitisastra disebutkan kalau raja
saleh, rakyatpun saleh, raja jahat rakyatpun jahat. Rakyat akan mengikuti sang
raja, sebagaimana raja begitulah rakyatnya.
Selanjutnya dijelaskan dalam Ramayana
pada saat Rama menyerahkan Terompah, sebagai simbolis kekuasaan kepada Bharata,
dengan wejangan sebagai berikut : “Hilangkah sifat-sifat angkara murka,
penghinaan jangan dilakukan, lenyapkan orang mabuk, perbuatan baik merupakan
sahabat mulia dan utama. Kemarahan dalam hati harus dihilangkan. Dosa yang
bertubi-tubi menimbulkan keonaran dan kehancuran. Rakyat yang baik budi dan
setia akan berbalik haluan. Kawan baik makin menjauh, musuhlah yang mendekat.
Dosa besar orang yang doyan minum, mabuk, hilap hatinya, pelupa, gelisah,
sombong, tekebur, angkuh dan jahat, dan berniat jahat. Lagi pula jangan bohong
dan berbuat hina, akan menimbulkan keonaran yang sudah tentu akan menjadi buah
bibir. Lagi pula bila ada rakyat yang kelihatan jahat, jangan tinggal diam
terhadap hal itu, hendaknya lekas melakukan tindakan yang tegas.
Tuhan menciptakan raja, untuk melindungi
ciptaanNya. Untuk mencapai tujuan itu maka sang Raja harus memiliki sifat-sifat
yang kekal pada Dewa Indra, Bayu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Candra dan Kuwera.
Yang kesemuanya tersebut tertuang dalam ajaran Asta Brata.
Raja identik dengan pemimpin. Kalau
dicermati kata dasar dari pemimpin adalah “pimpin” yang artinya “tuntun”.
Maksudnya adalah seorang pemimpin memerlukan tuntunan, agar mampu berjalan
sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang telah disepakati. Untuk
dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin yang bijaksana maka harus mendasarkan
diri kepada konsep Agama, Igama dan Ugama, dalam ajaran Agama Hindu.
Konsep berasal dari Panca Talaning
Wisata Budaya, terdiri dari : Agama, Ugama, Igama, Sila Krama dan Sima Krama.
Agama adalah agama Hindu yang ada di Bali yang kaya akan falsafah dan mythologi
serta ajaran-ajarannya karena ia merupakan perpaduan yang serasi antara
Hinduisme, Hindu Jawa dan unsur kebudayaan Bali asli. Ugama adalah pelaksanan
dari ajaran agama di bidang upacara dan upakara. Kemudian menimbulkan adanya
seni tari, seni sastra, seni krawitan, seni ukir dan seni budaya yang lainnya.
Igama adalah ajaran ketata susilaan bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat
di Bali. Sila Krama adalah Pelaksanaan ajaran-ajaran di atas di dalam
masyarakat Bali yang disesuaikan dengan kala, patra dan desa. Sima Krama adalah
Pekraman/ silahturahmi anggota masyarakat desa adat yang sudah dilaksanakan
sejak waktu yang lalu, maka ia merupakan adat yang mempunyai kesamaan dan
perbedaan di masing-masing desa adat.
Patih Gajah Mada dalam mengendalikan
Bali setelah ditaklukkan, menggunakan konsep Asta Dasa Berata Pramiteng Prabhu.
Yang dimaksud dengan Asta Dasa Berata Pramiteng Prabhu dari Gajah Mada adalah
18 (delapan belas) kewajiban pokok pengendalian diri seorang pemimpin yaitu :
1. Wijaya; bersikap tenang dan
bijaksana.
2. Matri Wira; berani membela yang
benar.
3. Natanggwan; mendapat kepercayaan
rakyat,
4. Satya bhakti a prabhu; taat kepada
pemimpin/pemerintah.
5. Wagmi wak; pandai bericara dan
meyakinkan pendengar.
6. Wicak saneng naya; cerdik menggunakan
pikiran.
7. Sarja wopasana; selalu bersikap
rendah hati.
8. Dirotsaha; rajin dan tekun bekerja.
9. Tan satresna; jangan
terikat/mengikatkan diri pada satu golongan atau persoalan.
10. Masihi semesta Buwana; bersikap
kasih sayang kepada semuanya.
11. Sih Semesta buwana; dikasihi oleh
semuanya;
12. Negara Ginang Pratidnya; selalu
mengabdi dan mendahulukan kepentingan negara.
13. Dibya cita; toleran terhadap
pendirian orang lain.
14. Sumantri; tegas dan jujur.
15. Anayaken musuh; selalu dapat
memperdaya musuh.
16. Waspada Pubha wisesa; waspada
selalu/introspeksi.
17. Ambeg Paramartha; pandai
mendahulukan hal-hal yang lebih penting.
18. Prasaja; hiduplah sederhana.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ;
kalau rajanya bingung dengan pergi ke hutan melakukan tapa berata, maka seorang
raja akan lebih banyak dipengaruhi oleh sifat sattwamnya. Sehingga segala
peraturan yang ada dalam kitab suci akan dilaksanakan dengan baik. Apabila
rajanya bingung, kemudian melakukan pengendalian diri melalui kegiatan berburu
di hutan berarti dipengaruhi oleh sifat Rajas, sehingga rakyat juga ikut
merusak alam seperti membabat hutan. Kalau rajanya bingung, kemudian melakukan
pengendalian diri melalui mengkonsumsi minuman keras dan mabuk-mabukan berarti
dipengaruhi sifat Tamas, sehingga rakyat juga terkena dampaknya. Kalau rajanya
mabuk, rakyatnya juga teler. Rajanya gila, rakyatnya cenderung gila-gilaan.
Rakyatnya sebagai pedagang kecil di warung ditangkap menjual miras rajanya
harus juga ditangkap.
Pemimpin Mesti Kendalikan Diri
Dari manakah pemimpin itu harus memulai
untuk mencapai kesempurnaan? Adalah dari diri sendiri. Setiap orang jadi
pemimpin dirinya sendiri. Jika sudah mampu memimpin diri sendiri, barulah ia
menjadi pemimpin orang lain.
Seorang pemimpin masyarakat tidak lepas
dari kepemimpinan handal yang ada pada dirinya sendiri. Tak bisa lepas dari
pengendalian diri atau kontrol panca indrianya sendiri baik jasmani maupun
rohani. Betapa pun pandainya, jika tanpa pengendalian diri, tanpa keseimbangan
jiwa, maka dipastikan berdampak merosotnya kehidupan masyarakat yang dipimpin.
Kita bisa belajar menjadi pemimpin dari
tokoh terdahulu yang diuraikan dalam kitab-kitab agama atau pun naskah-naskah
kuno. Sebut saja Yudistira dalam Mahabharata, merupakan pemimpin yang
menjalankan dharma, sesuai ajaran Agama Hindu yang dianutnya. Yudistira seorang
raja yang baik, terbukti kehidupan rakyat Indra Prasta yang makmur. Benteng
pertahanan Indra Prasta yang kuat dan ia memiliki para pendamping yang siap
membantu jalannya pemerintahan, seperti Bima, Arjuna, Nakula, Sahadewa, dan
para Resi Bhagawan sebagai penasehat.
Suatu ketika Yudistira pernah kehilangan
kontrol diri, ia kehilangan pengendalian diri dan keseimbangan jiwa. Pada saat
ia diundang untuk bermain dadu, melawan raja Gandara Sakuni, Yudistira
menerimanya dengan cepat. Sudah beberapa kali ia kalah, dan harta yang
dipertaruhkan sudah banyak pula. Itu sudah cukup menjadi petunjuk. Namun
semakin menjadi-jadi, sampai-sampai ia mempertaruhkan kerajaannya. Hanya karena
kontrol dan pengendalian diri, terburu nafsu menggebu dan hilangnya keseimbangan
jiwa, maka Yudistira kehilangan Indra Prasta di meja judi, atas akal bulus raja
Gandara Sakuni.
Hendaknya pemimpin tidak kehilangan
kontrol diri dan keseimbangan. Dan perlu diingat tiga hal yang membuat pemimpin
itu rusak ialah judi, berburu, bermain wanita, minuman keras, memfitnah,
merampas harta benda, dan melukai badan (kekerasan ?). Untuk menjadi pemimpin
yang baik hindarilah hal itu. Sesuai dengan apa yang dimuat dalam kitab Manawa
Dharma Sastra, VI,7,52.
Saptakasyasya wargasya
Sarwatraiwanu sangginah
Purwam purwa gurutaram
Widyadwyasanamatmawan
Artinya :
Seorang pemimin hendaknya mengendalikan
diri dari ketujuh jenis itu, sebagaimana kejahatan yang disebutkan di atas.
Menjadi pemimpin memang tidak mudah.
Sekali lagi, perlu pengendalian diri. Pengendalian diri memegang kontrol segala
kegiatan untuk mencapai kinerja yang baik dan berhasil. Pemimpin hendaknya
menjadi panutan bagi yang dipimpin dalam hal pengendalian diri. Jika sudah
saling mengendalikan diri, semua akan terkontrol, tidak ada kesimpang siuran,
tumpang tindih, dan kekacauan. Itulah mengapa dalam sloka-sloka mengenai
kepemimpinan sangat banyak memuat tentang pengendalian diri, seperti berikut :
Indryanam jaye yogam.
Samatis theddiwanisam.
Jitendriya hi caknoti
Wage sthapayitum prajah
Artinya :
Pemimpin hendaknya siang dan malam
seharusnya mengendalikan diri sekuat tenaga, karena ia telah menundukan
indrianya sendiri, dapat menguasai diri, pasti mengendalikan rakyatnya.
Begitu pentingnya pengendalian diri,
maka seorang pemimpin pastilah muncul sebuah taksu atau karisma, yang mampu
mempengaruhi masyarakat. Namun untuk mengendalikan diri inilah yang sulit
apalagi mau membuat karisma diri dan mengendalikan rakyat. Untuk itulah seorang
pemimpin berpedoman pada sifat kedewataan dan menerapkannya pada
kepemimpinannya. Sifat-sifat kedewataannya itu tersurat dalam sloka :
Indra nilaya markanam
Agni ca waruna sya ca
Candra wite ca yo caiva
Matra nir hertya cacwatih
Artinya :
Untuk memenuhi maksud tujuan itu,
pemimpin harus memiliki sifat kekal seperti Indra, Vayu, Yama, Surya, Agni,
Varuna, Chandra dan Kuwera (Manawa Dharmasastra VII, 4)
Yang dimaksud :
• Indra adalah seorang raja harus mampu
mengayomi dan memberikan kehidupan seperti hujan yang turun menyuburkan tanah.
• Vayu seorang pemimpin harus adil
seperti hakim,
• Yama seorang pemimpin harus tegas,
• Surya seorang pemimpin harus mampu
memberikan penerangan,
• Agni seorang pemimpin harus mampu
mengobarkan semangat rakyat,
• Varuna atau laut seorang pemimpin
harus memiliki pengetahuan luas,
• Chandra seorang pemimpin harus bisa
menyejukkan hati rakyatnya, dan yang terakhir
• Kuwera seorang pemimpin itu harus
berdana, untuk kesejahteraan rakyat.
Kalau negara ini ingin baik, tidaklah
sulit bagi seorang pemimpin. Cukup melaksanakan Agama, Ugama dan Igama, sesuai
ajaran Agama Hindu.
Refrensi:
Yasasusastra, J. Syahban, 2011, Asta
Brata – Delapan Unsur Alam Simbol Kepemimpinan, Penerbit Pustaka Mahardika,
Yogyakarta.
Prajoko, Ahmad, Asta Dasa Berata
Pramiteng Prabu Ajaran Kepemimpinan Gajah Mada, http://www.parissweethome.com/bali/cultural_my.php?id=9,
diakses 22 September 2015 Jam 16:05
No comments: